Safety Journalist; Tak Ada Berita Seharga Nyawa

Safety Journalist; Tak Ada Berita Seharga Nyawa

Berita, Foto, Kegiatan, Video Tak ada komentar pada Safety Journalist; Tak Ada Berita Seharga Nyawa

Puluhan orang berdatangan ke Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak di Kafe Roemah Idaman, Jalan Alianyang, Gang Kurnia nomor 3, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (16/12/2017).

Safety Journalist. Itulah tema kegiatan diskusi yang digelar sejak pukul 15.00 hingga 17.30 WIB. Selain wartawan, pegiat pers kampus, dosen dan mahasiswa turut hadir dalam diskusi tersebut. Aktivis pers kampus Mimbar Untan Pontianak, Rio, mengaku mengalami represi dari internal kampus. Akan tetapi, dia bingung akan melapor kemana.

“Kami juga sering mengalami tekanan. Dipanggil pihak kampus karena dianggap memberitakan hal-hal negatif tentang kampus. Apa yang harus kami lakukan?” ucapnya, bertanya dalam sesi dikusi.

Sekretaris AJI Pontianak, Marhasak Reinardo Sinaga, menjelaskan diskusi ini menjadi penting karena menjadi jurnalis penuh risiko.

“Diskusi ini penting karena profesi wartawan merupakan satu dari profesi yang kerap menjadi sasaran kekerasan,” kata Marhasak Reinardo Sinaga.

Marhasak Reinardo Sinaga mengingatkan, apalagi 2018 adalah tahun politik yang rentan terhadap aksi kekerasan yang bisa saja terjadi pada jurnalis. Untuk itulah, keselamatan tetap yang utama. “Tidak ada berita seharga nyawa,” ujar Marhasak Reinardo Sinaga.

Jurnalis senior Kalbar, Yan Andria Soe, berkata langkah damai juga salah satu proses. Dia yakin hal itu, karena proses juga harus berjalan. “Saya yakin, ini masalah pribadi,” kata Yan Andria Soe.

Yan Andria Soe menekankan, ketika meliput bencana harus berhati-hati. Sebab, keselamatan adalah hal utama.

“Bahaya yang datang dari diri kita, itu akan menimbulkan ke kita. Biasanya ini bencana alam. Semisal longsor, dan lain-lain. Sifatnya bisa diprediksi,” ucapnya, berpesan.

Selain itu, dia kembali mengingatkan,”Kita harus mengukur diri ketika liputan. Semisal, disuruh liputan banjir, padahal kita gak bisa berenang. Ini potensi bahaya. Membawa identitas itu sangat penting,”.

Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pontianak, Leo Prima, mengaku prihatin atas tindakan kekerasan terhadap wartawan di lapangan.” Kekerasan terhadap wartawan selalu berulang,” kata dia, mengingatkan.

Sementara berdasarkan Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang dikeluarkan Dewan Pers tahun 2016, menempatkan Provinsi Kalimantan Barat terbaik dalam kemerdekaan pers. Dari 24 provinsi yang menjadi objek survei, Kalimantan Barat meraih skor tertinggi 75,68 poin.

Namun dibalik prestasi yang membanggakan tersebut, tindak kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi dan menyisakan kekecewaan terkait perlindungan hukum bagi kalangan jurnalis.

Berdasarkan catatan AJI Pontianak, kekerasan terhadap jurnalis beberapa kali terjadi, diantaranya:

1. Tahun 2010, terjadi kasus pemukulan terhadap jurnalis Metro Pontianak, Arief Nugroho dan jurnalis Metro TV, Faisal, yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Untan. Kasusnya hingga kini belum ada kejelasan hukum sampai ke persidangan meski sudah lapor ke polisi.

2. Tahun 2011, insiden pemukulan menimpa jurnalis Tribun Pontianak, Rihard Nelson Silaban di Kabuaten Landak. Kasusnya juga mengendap.

3. Tahun 2015, terjadi peristiwa pengeroyokan terhadap jurnalis Tribun Pontianak, Subandi di Kabupaten Ketapang yang telah sampai pada persidangan n vonis bagi pelaku oleh Pengadilan Negeri (PN) Ketapang.

4. Tahun 2017 ini, Salah 1 media massa di Pontianak mendapatkan ancaman persekusi di media sosial, akibat berita yang dilaksanakan. Ancaman digitalisasi via media sosial itu, sudah mengarah pada personal jurnalis di media massa tersebut, akibat di halaman utama media massa itu, menulis tentang kutipan hasil rilis pers yang dibagikan saat Aksi Reuni 212 di Jakarta.

Dari beberapa kasus tersebut mengindikasikan bahwa masih ada hambatan bagi jurnalis di Kalimantan Barat dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik. Dari fakta itu pula, pelaku kekerasan adalah oknum masyarakat.

Ancaman terhadap kekebasan pers juga masih dialami kalangan jurnalis berupa intmidasi, baik dari internal maupun eksternal perusahaan media.
Menyikapi beberapa kasus tadi, maka sangat diharapkan seluruh lapisan masyarakat dapat menghargai peran jurnalis/ media sebagai alat kontrol sosial.

Begitupula kepada aparat penegak hukum agar lebih proaktif menyelesaikan kasus-kasus tindak kekerasan terhadap jurnalis, tentunya dengan menggunakan UU Pers sebagai lex spesialis saat menangani perkara yang terkait dengan pemberitaan atau produk jurnalistik. Tak kalah penting, kalangan jurnalis juga dituntut untuk selalu mematuhi Kode Etik Jurnalistik. (*)

Simak video Safety Journalist; Tak Ada Berita Seharga Nyawa

Author

Leave a comment

Search

Back to Top